Siang itu hamparan sawah di Desa
Gumelem Kulon dan Gumelem Wetan, Susukan, Kabupaten Banjarnegara masih
kelihatan hijau. Itu artinya masyarakat disana belum ada kesibukan untuk
memanen padi. Dalam suasana seperti itu masyarakat setempat banyak memanfaatkan
waktunya untuk membatik.
Menurut penduduk setempat, kegiatan
seperti itu sudah rutin dilakukan oleh kaum perempuan secara turun-temurun
sebagai pekerjaan sampingan selain petani dan buruh tani.
Mu’minah (81 th) dari Desa Gumelem
Kulon, adalah termasuk salah satu ibu rumah tangga yang masih tetap eksis
mempertahankan keberadaan batik tulis “Gumelem” di Banjarnegara. Melestarikan
seni adiluhung nenek moyangnya, adalah alasan paling tepat ia mempertahankan
seni rupa dua dimensional itu.
Ditemui di rumah kediamannya yang
nampak sederhana itu Mu’minah kelihatan sedang sibuk melakukan aktifitas
seperti biasanya sebagai seorang pembatik. Tangan keriput seorang ibu dengan 10
anak itu sepertinya tak mengenal lelah mengayunkan canting di atas kain putih
tanpa pola.
Kami sudah terlalu cinta dengan yang
namanya batik, seni itu indah dan memberikan manfaat banyak bagi kehidupan
masyarakat, ucap Mu’minah mengawali bincang-bincangnya dengan Redaksi web. ini
di sela-sela kesibukannya mengayunkan canting kesayangannya.
Menurut Mu’minah, karya seni dua
dimensional seperti batik tulis tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang
memiliki bakat seni. “Sinten mawon saged mbatik sing penting onten niat”, ucap Mu’minah
dalam bahasa Banyumasan yang kurang lebihnya adalah “Siapa saja bisa mewujudkan
gagasan kreatifitas itu asalkan ada kemauan keras dan didukung dengan
pengetahuan tentang ilmu batik maka setiap orang bisa melakukannya”.
Perajin batik yang namanya sudah
tidak asing lagi di kalangan Pegawai Negeri Sipil itu mengaku mulai membatik
sejak masih jaman penjajahan Jepang, waktu itu masih duduk di bangku Sekolah
Rakyat (SR).
Adapun keahlian dalam
mengekspresikan gagasan estetika yang mengandung seni budaya itu tidak di
peroleh dari hasil pendidikan seni di bangku sekolah melainkan hasil transferan
dari kedua orang tuanya yang juga sebagai pembatik. Menurut Mu’minah, batik
tulis di Gumelem, sudah ada sejak zaman kademangan yakni setelah perang
Diponegoro.
Mu’minah memang sudah tidak muda lagi,
meski begitu ia tidak mau berpangku tangan mengandalkan belas kasihan dari 10
anaknya. Dalam sisa hidupnya ia akan terus berusaha mengabdikan dirinya dalam dunia seni batik,
katanya.
Menurutnya, masa keemasan “Batik Gumelem” beberapa puluh
tahun lalu pernah mengalami kemunduran bersamaan dengan adanya perubahan status
Kedemangan Gumelem. Melunturnya nilai-nilai sakral
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari juga menambah suramnya dunia batik di
daerah itu.
Namun
mulai tahun 2004, nama Gumelem menjadi sering disebut-sebut oleh banyak orang
menyusul adanya Surat Edaran dari Pemerintah Kabupaten
Banjarnegara
tentang penggunaan “Batik Tulis Gumelem”
bagi semua Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas sehari-hari.
Kegembiraan
para perajin batik nampaknya semakin sumringah setelah sebuah badan dunia (Unesco)
mengakui keberadaan “Batik Indonesia” pada tahun 2009. Sejak
itu pula “Batik Tulis Gumelem” mulai
dikenal oleh banyak kalangan, tidak hanya di daerah Banjarnegara sendiri,
tetapi mulai dikenal pula oleh daerah lain.
Dalam galerinya yang terbuat dari
bahan bambu, Mu’minah tidak bekerja sendirian, tetapi dibantu oleh 15 orang
yang semuanya adalah ibu rumah tangga. Dalam setiap bulannya ia mampu
menghasilkan sekitar 60 lembar batik tulis murni, dengan kisaran harga antara
Rp 180 ribu hingga Rp 350 ribu/lembar tergantung bahan baku yang digunakan dan
tingkat kesulitannya. Dari hasil karyanya itu, sebagian besar untuk memenuhi
pasar lokal Banjarnegara dan Sokaraja.
Sambil terus mengayunkan cantingnnya
di atas kain putih, Mu’minah dengan wajah yang masih menyisakan kecantikannya
menuturkan tentang keluhan yang menyangkut permodalan. Selama menjadi seorang
pembatik, Mu’minah sering kebingungan memperoleh modal untuk membeli bahan baku
kain di Sokaraja. Ia baru bisa membeli bahan baku jika hasil karyanya sudah
laku, katanya.
Menyinggung
tentang proses pembuatan kain batik, secara singkat Mu’minah menjelaskan bahwa
membatik adalah menuliskan malam yang dicairkan di atas kompor pada kain yang
sudah dipola sebelumnya dengan menggunakan canting.
Kain
yang sudah selesai ditulis itu kemudian diberi warna dengan jalan dicelup.
Proses pencelupan bisa berulang-ulang tergantung jumlah warna yang dikehendaki.
Maka jangan kaget jika satu lembar kain batik waktu yang dibutuhkan bisa
mencapai satu sampai dua minggu minggu, sedangkan untuk kain batik yang halus
bisa mencapai setengah sampai satu bulan.
Motif batik Gumelem sebagian besar
diambilkan dari alam pedesaan, seperti motif Lumbon, Kopi Pecah, Pring Sedapur,
Pring Setetek, Parang Cendol, cebong kumpul dan masih banyak sekali motif-motif
alam pedesaan lainnya. (s.bag)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar