Bicara Batik Gumelem tak mungkin melewatkan sejarah kemunculannya. Sampai
saat ini belum ada penelitian yang secara khusus menguak sejarah Batik Gumelem.
Ada beragam versi tentang kemunculan batik di Gumelem.
Namun ada dua versi yang banyak dijadikan rujukan bagi pihak-pihak yang
ingin tahu tentang Batik Gumelem. Sebagai warga Banjarnegara, semangat saja
ternyata tidak cukup untuk bisa mencintai dan’nguri-uri’ Batik Gumelem. Karenanya kita perlu mengetahui
sejarahnya supaya bisa lebih mencintai produk asli khas Banjarnegara ini.
Dalam Buku ”20 Tahun Gabungan Koperasi Batik Indonesia” yang diterbitkan
sekitar tahun 1968, Sejarah Batik Gumelem masih terkait erat dengan Batik
Sokaraja atau Batik Banyumas. Sejarah Batik Banyumas dimulai sejak pengungsian
para keluarga raja dan pengikut Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta yang
terdesak oleh Kompeni Belanda. Setelah perang usai pada tahun 1830, para
keluarga raja dan pengikut Diponegoro memilih menetap di pengungsian daripada
harus kembali ke keraton yang belum jelas jaminan keamanannya.
Di Banyumas,
keluarga raja tersebut memilih menetap di Sokaraja. Di tempat inilah mereka
memulai kegiatan yang dilakoninya sehari-hari, termasuk membatik dan
mengenakannya dalam kepentingan berbusana. Pengikut Pangeran Diponegoro yang
terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah yang mengembangkan batik celup di
Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewarna
dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan
kuning.
Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada akhir abad
ke-XIX berhubungan langsung dengan pembatik di daerah Solo dan Ponorogo. Daerah
pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan warna
khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah Perang Dunia I
pembatikan mulai pula dikerjakan oleh penduduk Sokaraja keturunan Tionghoa
disamping mereka dagang bahan batik.
Meningkatnya permintaan akan kain batik membuat semakin meluasnya kerajinan
batik di kalangan masyarakat Banyumas dan sekitarnya, tak terkecuali masyarakat
Gumelem yang sudah masuk Kabupaten Banjarnegara. Membatik menjadi kegiatan
favorit masyarakat Gumelem khususnya kaum perempuan, di sela-sela kesibukannya
bertani atau mengurus rumah tangga, sebagai sumber penghasilan tambahan.
Dalam Buku Profil Batik Gumelem (2008), Sejarah Batik Gumelem diyakini
sudah ada sejak berdirinya tanah perdikan Gumelem yang kemudian menjadi
Kademangan Gumelem. Miniatur kehidupan istana seperti pranata, trapsila, busana
dan tata praja di wilayah pedesaan secara baik ditemukan pada ragam kehidupan
di Kademangan Gumelem. Layaknya wilayah perdikan, Kademangan Gumelem mengatur
rumah tangganya sendiri. Demang memiliki pembantu sentana dalem yang mengurus
kelancaran pemerintahan disamping terdapat satuan-satuan kerja teknis untuk
mendukung keberadaan dan menjaga wibawa kademangan. Diantara satuan inti itu
terdapat tukang batik yang bertugas membuat kain batik bagi keperluan busana
keluarga, kerabat dan sentana dalem Kademangan.
Sentra Batik Gumelem berada di Dukuh Dagaran dan Karangpace (Gumelem Wetan)
dan Dukuh Ketandan, Beji dan Kauman (Gumelem Kulon). Masa keemasan Batik
Gumelem mengalami penurunan sejalan dengan berubahnya kademangan yang merupakan
tanah perdikan (bebas pajak) di bawah pengaruh Kasunanan Surakarta.
Status dan wilayah Kademangan berubah karena Surakarta dilanda krisis
politik dan pemerintahan, wilayahnya pun lantas dibagi dua menjadi Gumelem
Wetan dan Gumelem Kulon. Status kademangan menjadi desa praja.
Keruntuhan kademangan yang tak terelakkan menjadi pukulan terberat bagi
perkembangan Batik Gumelem. Batik sebagai kebudayaan kalangan istana yang
selama ini bertahan karena perlindungan (patronase) dari kalangan Kademangan
seperti bangunan yang kehilangan penyangga utamanya. Keruntuhan berarti
berkurangnya kebutuhan batik karena berkurangnya jumlah sentana dalem, acara
pemerintahan dan ritual adat.
Kemunduran masa keemasan Batik Gumelem dipicu juga dengan melunturnya
nilai-nilai sakral dalam kehidupan sehari-hari manusia sekarang ini membuat
sirna pula makna batik. Batik semakin kehilangan mitos dan tinggal menjadi
semacam ragam hias yang mengandalkan unsur keindahan belaka. Di sisi lain
industri sandang mulai mengandalkan cap atau cetak (printing) dimana
motif batik hanya diproduksi ulang tanpa melalui teknik batik tulis atau tangan
seperti lazimnya yang memang membutuhkan kesabaran, keahlian dan ketelatenan
tersendiri oleh pembuatnya.
Ciri
Khas Batik Gumelem
Keterkaitan sejarah Batik Gumelem dengan Batik Banyumas membuat ciri khas
Batik Gumelem sedikit banyak terdapat kesamaan dengan Batik Banyumas. Sebagai contoh motif kawung, di Gumelem
menjadi kawung ceplokan, jahe serimpang, godong lumbu, pring sedapur dan
sebagainya. Batik Gumelem juga tidak meninggalkan corak batik klasik khas
kraton seperti Sidomukti dan Sidoluhur. Karena jika ditelusuri dalam sejarah,
sama halnya dengan batik-batik banyumasan lainnya, batik mulai dikenal di
Gumelem sejak Perang Diponegoro saat Pangeran Puger mengungsi ke Banyumas.
Kraton yang pada masa itu merupakan pusat segala kegiatan kerajaan, diikuti
oleh para punggawa dan budayawan termasuk di dalamnya para seniman batik. Di
tempat yang baru tersebut, batik dikembangkan dengan gaya dan selera masyarakat
setempat, maka salah satunya munculah Batik Gumelem.
Motif batik di Gumelem sendiri mengalami pembagian dalam dua golongan
corak, yaitu klasik dan kontemporer. Batik klasik Gumelem dari segi motif tak
banyak berbeda dengan batik banyumas dan batik-batik kratonan yang didominasi
warna tua seperti coklat, hitam dan putih/ kuning. Pembuatan batik tulis klasik
dikerjakan oleh para pembatik berusia lanjut, menyukai detil, berpijak pada
pakem, relatif halus dan pembatikan dituangkan di dua sisi kain (bolak-balik).
Karena pengerjaannya yang butuh ketelatenan tinggi dan dikerjakan dalam waktu
yang cukup lama, harga batik klasik Gumelem relatif tinggi dan biasanya
menembak sasaran menengah ke atas atau kolektor batik. Banyak orang menandai
ciri khas Batik Gumelem terletak pada keasliannya sebagai batik tulis yang
benar-benar tulis, bukan campuran sablon tulis atau cap tulis.
Menurut Sartinem, salah seorang pelaku batik tulis asal Gumelem Kulon, ada
puluhan corak batik klasik asli Gumelem. ”Beberapa diantaranya adalah Pring
Sedapur, Gajah Uling, Sungai Serayu, Udan Liris, Jahe Serimpang, Sido Mukti,
Grinting, Galaran, Buntelan, Sidoluhur, Ukir Udar, Sekar Jagad, Gabah Wutah,
Blaburan, Parang Angkrik, Parang Angkrik Seling, Kopi Pecah,” terangnya.
Ditambahkan Sartinem, pada motif kontemporer sudah sedikit banyak perbedaan
dengan batik banyumas. Motif kontemporer lebih variatif, mengakomodir kekhasan
Banjarnegara, menggunaan pewarnaan yang lebih berani seperti hijau, merah, biru
dan warna-warna lain sesuai keinginan, dikerjakan oleh pembatik-pembatik muda,
corak relatif jarang-jarang dan besar-besar, satu muka atau dituangkan hanya
satu sisi kain, dan dapat disesuaikan dengan order baik waktu pengerjaan, warna
maupun harga. ”Contoh Corak Kontemporer diantaranya Sawung Alit, Lumbu Pari,
Kawung Ceplokan, Kantil Rinonce, Sekar Tirta, Pilih Tanding, Salak Raja, Sekar
Kinasih, Sekar Rinonce, Firasat, Barong Kembar, Wahyu Temurun, Lung Semanggen,”
tambahnya.
Upaya Pemkab Banjarnegara
Sejak runtuhnya kademangan, Batik Gumelem mengalami kelesuan panjang. Kain
batik hanya digunakan bagi perempuan tua sebagai pelengkap pakaian tradisional
sehari-hari (jarit/ jarik –red), selendang untuk menggendong bayi dan kain
penutup jenazah. Itupun hanya diproduksi ulang melalui teknik cetak (printing)
untuk keterjangkauan harga. Para pembatik tulis-pun
semakin jarang ditemukan dan nyaris punah.
Tahun 2003 bisa disebut sebagai tahun kebangkitan Batik Gumelem ditandai
dengan terbitnya Surat Edaran Bupati Banjarnegara agar setiap hari Sabtu, PNS
se-Kabupaten Banjarnegara menggunakan Batik Gumelem saat melaksanakan tugas.
Karena mahalnya harga Batik Gumelem yang semuanya berupa batik tulis, kebijakan
penggunaan Batik Gumelem hanya diwajibkan bagi PNS yang telah menyandang
eselon/ jabatan. PNS lainnya boleh menggunakan batik cap/ cetak yang rata-rata
produksi daerah lain seperti Pekalongan dan Sokaraja.
Surat Edaran ini ternyata cukup jitu untuk menggairahkan kembali industri
Batik Gumelem yang mati suri. Terbukti, hingga tahun ini (2012), data dari
Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan UMKM (Dinperindagkop) Kabupaten
Banjarnegara tercatat sebanyak 8 pengrajin yang sudah memiliki nama (label).
Pengrajin ini, menurut Heri Suryono, Kepala Dinperindagkop, tersebar di empat
desa, yaitu: Gumelem Wetan dengan Giat Usaha milik Giat Saptorini, dan Setya
Usaha milik Sutirah; Gumelem Kulon dengan Amorista milik Mukminah, Mekarsari
milik Sartinem, dan Tanjung Biru milik Suryanto; Panerusan Wetan dengan Wardah
milik Nanik Suparni dan Mirah milik Mirah; serta Susukan dengan Prana Mukti
milik Supono. ”Sedangkan untuk pembatiknya sendiri jumlahnya bisa mencapai
ratusan, tersebar di empat desa tersebut. Masing-masing pengrajin bisa
mempekerjakan sampai 40 orang pembatik,” tambahnya.
Selain menerbitkan Surat Edaran itu, melalui Dekranasda, Pemkab
Banjarnegara melakukan berbagai terobosan untuk ’nguri-uri’ Batik
Gumelem dengan berbagai upaya, seperti pelatihan lewat sistem magang, pemberian
bantuan peralatan baik batik tulis maupun batik cap, pelatihan pewarnaan,
teknis batik cap dan desain motif batik, lomba rancang motif dan busana Batik
Gumelem tiap 2 tahun sekali, studi banding untuk membuka wawasan perajin, serta
pemberian pinjaman modal dengan bunga rendah/ subsidi bunga.
Perhatian Pemkab Banjarnegara semakin dipertajam setelah munculnya
pengakuan UNESCO bahwa Batik merupakan Warisan Bukan Benda Asli Indonesia pada
tanggal 2 Oktober 2009. Sehari setelah adanya pengakuan UNESCO tersebut yang
juga disebut sebagai Hari Batik Nasional, keluarlah Surat Edaran yang
mewajibkan seluruh PNS se-Kabupaten Banjarnegara selama seminggu penuh mulai
tanggal 5-10 Oktober 2009 menggunakan batik selama jam kerja.
Tak berapa lama kemudian turunlah Keputusan Bupati Nomor: 025/ 591 Tahun
2009 tentang Penggunaan Pakaian Dinas PNS di Lingkungan Pemkab Banjarnegara,
yang salah satu poin pentingnya adalah penggunaan pakaian batik diperpanjang
dari semula hanya satu hari yaitu di Hari Sabtu, menjadi tiga hari yaitu Kamis,
Jumat dan Sabtu. Bahkan sejalan dengan waktu, kini aturan pemakaian batik
diperpanjang lagi menjadi empat hari dalam seminggu, mulai Rabu, Kamis, Jumat,
dan Sabtu.
Menurut Kepala Bagian Organisasi Setda Kabupaten Banjarnegara, Rahmawati
BA, selain meng-gol-kan wacana memperpanjang pemakaian batik sebagai pakaian
dinas PNS, pihaknya juga memiliki sejumlah wacana untuk turut melestarikan
Batik Gumelem. ”Kami juga sedang menggagas untuk membuat seragam batik khusus
bagi PNS dari Kabupaten Banjarnegara dan mengusulkan sistem kredit potong gaji
di tiap koperasi pegawai negeri untuk mempermudah PNS memiliki Batik Gumelem,”
jelasnya.
Pada bulan Desember 2012 yang akan datang juga akan diadakan Gebyar Pesona Batik
Gumelem Banjarnegara dalam Rangka HUT KORPRI sebagai bentuk nyata KORPRI untuk
turut andil dalam nguri-nguri keberadaan
Batik Gumelem sebagai potensi khas asli Banjarnegara. Tahun 2013 yang akan
datang juga akan digelar Batik Carnival sebagai rangkaian dari acara Festival
Serayu Banjarnegara Tahun 2013.
Dilematis Batik Printing
Hanya saja, penambahan hari penggunaan batik ini tidak serta merta
meningkatkan penggunaan Batik Gumelem di kalangan PNS. Sebaliknya, tidak
sedikit PNS yang memilih membaluti tubuhnya dengan batik di luar Gumelem,
terutama batik printing (kain bermotif batik cetak) yang harganya
relatif terjangkau dan dijual bebas di pertokoan.
Persoalan ini memang menjadi dilema tersendiri bagi perkembangan Batik
Gumelem. Batik Gumelem memang didominasi Batik Tulis yang dalam waktu
pengerjaannya lama, rumit dan tentu saja konsekuensinya mahal. Sementara saat
ini, untuk memenuhi kebutuhan terpenting seperti makan saja berat. Orang
cenderung membeli pakaian sesuai kemampuan keuangannya, tidak peduli asli
tidaknya pakaian batik yang digunakannya. Bahkan untuk bisa membeli selembar
pakaianpun sudah beruntung.
Tak hanya itu. Tempo waktu pengerjaan yang lama ditambah kegiatan membatik
masih dianggap pekerjaan sambilan selain bertani, membuat Batik Gumelem sulit
memenuhi permintaan pasar baik dari sisi waktu maupun ketersediaan komoditas.
Kondisi ini memunculkan wacana pengadaan batik printing dengan motif
khas Gumelem. Teknik pembuatan batik printing persis teknik sablon, yaitu menggunakan klise
(kassa) untuk mencetak motif batik di atas kain. Cara mewarnainya juga sama
dengan proses pembuatan tekstil biasa, yaitu dengan menggunakan pasta yang
telah dicampur pewarna sesuai keinginan, kemudian diprintkan sesuai motif yang
telah dibuat. Keunggulan batik printing
tentu saja dari sisi efisiensi waktu karena tidak melalui proses
penempelan lilin dan pencelupan seperti batik pada umumnya, hanya saja motif
yang dibuat adalah motif batik. Tak heran jika batik printing bisa diproduksi
dalam jumlah besar.
Batik printing sudah lazim dilakukan
di sentra-sentra batik di seluruh Indonesia seperti Pekalongan, Banyumas,
Yogyakarta dan Solo. Melihat kondisi dan
persoalan yang dihadapi dalam pengembangan Batik Gumelem, seolah-olah batik printing
memang solusi paling tepat. Apalagi untuk menjawab kebutuhan pasar terutama
setelah getolnya kampanye penggunaan Batik Gumelem bagi masyarakat Banjarnegara
yang dimulai dari kalangan PNS.
Namun wacana ini tidak sepenuhnya
mendapat sambutan antusias, terutama bagi para pecinta batik. Menurut Sartinem,
salah satu perajin batik Gumelem, batik printing bukanlah batik. Karena
yang dimaksud dengan batik adalah kain yang ditulis atau dihias motif-motif
khas dengan malam panas melalui canthing dan disempurnakan dengan proses
pencelupan. Sementara batik printing, bahan pewarnanya bukanlah malam,
juga tidak menggunakan canthing. Seluruhnya dikerjakan layaknya sablon
pada kain motif umumnya.
”Jadi kekhasan batik dan pakemnya tidak ditemukan disini. Memang, harganya
lebih murah karena kualitasnya jauh di bawah batik tulis, juga bisa diproduksi
dalam skala sangat besar. Jadi tidak ada bedanya dengan kain motif lainnya,”
ujar Sartinem. Sebagai pelaku batik tulis, Sartinem juga khawatir popularitas
batik tulis tenggelam digantikan batik printing yang notabene sangat
mudah ditiru.
Memang dibutuhkan kearifan dalam ’nguri-uri ’
Batik Gumelem. Jangan sampai hanya karena keinginan memenuhi kebutuhan pasar,
kualitas dan keaslian Batik Gumelem dipertaruhkan. Inilah tantangan yang tidak
cukup untuk sekedar direnungkan, tapi juga harus dijawab dan dicari solusinya. (yovi)Tulisan Terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar