Inovasi apapun dalam pertanian harus
menjamin keadilan bagi petani. Banyak inovasi teknologi selama ini memperluas
kesenjangan antara petani miskin dan kaya karena tidak diatur oleh institusi
lokal.
Akibatnya petani kehilangan hak menggunakan
dan mengadaptasi pengetahuannya sendiri. Pertanian organik, apabila
dilaksanakan dengan prinsip perubahan paradigma tersebut dapat membangun
kembali jati diri petani (ada pertanian organik dan monokultur yang dikuasai
perusahaan besar, ini yang perlu diwaspadai).
Pertama, inovasi petani dalam pemuliaan
benih diakui dalam gerakan pertanian organik. Kedua, proses sosio-kultural juga
diakui walaupun pengembangan institusinya masih lemah. Terakhir, yang paling penting,
pertanian organik bisa mendorong petani untuk menghasilkan pangan yang sehat
bagi dirinya dan keluarganya sendiri dulu, sehingga mereka mendapatkan haknya
sebelum menjual sisanya ke pasar. Tetapi gerakan pertanian organik belum
terlalu mampu mengubah citra petani. Jadi hak petani untuk dihormati sebagai
petani masih belum tercipta. Kisah tentang Pak Niman ini mungkin bisa menjadi inspirasi
bagaimana seorang petani bercerita
tentang inovasi dan kemandirian yang akan mengantarkannya pada kesuksesan,
sebuah upaya untuk mengembalikan citra bahwa profesi petani layak dihormati dan
diperhitungkan.
Berawal
dari keinginan pribadi untuk menyelamatkan keluarga dari kontaminasi bahan
kimia mendorong Mochamad Niman Hadi atau yang akrab di panggil Pak Niman serius
mengkampanyekan tanaman organik. Salah satunya adalah salak organik yang saat
ini tengah dikembangkannya. Sebenarnya bertani dengan sistem organik ini adalah
warisan orang tua yang dia pelajari secara otodidak.
“Saya
tidak pernah belajar pertanian organik secara formal. Yang saya tahu, orangtua
saya mengajarkan untuk tidak berbuat tidak adil dengan keluarga, orang lain,
dan lahan sebagai alam yang menyediakan rezeki bagi kita. Jangan sampai
meracuni keluarga dan orang di sekitar kita dengan bahan kimia, begitupun
lingkungan kita,” terangnya.
Hal lain
yang mendorongnya serius menekuni pertanian organik menurutnya adalah keinginannya
untuk bisa sukses dan membuktikan kepada dunia bahwa mata pencaharian sebagai
petani tidak boleh dipandang sebelah mata.
“Saya
ingin anak-anak muda bisa belajar dari apa yang saya tekuni. Sedih rasanya
ketika saya melihat orang tua yang melarang anaknya menjadi petani. Padahal
petani adalah profesi yang halalan toyibah, menyehatkan, dan bisa mendatangkan
kemakmuran bagi keluarga dan orang lain di sekitar kita. Buktinya saya juga
sudah bisa haji dengan ONH Plus dan tahun ini akan kembali ke Mekkah untuk
berhaji dengan hasil bertani selama ini,” ungkap Pak Niman.
Ditambahkan
Niman, tidak beda dengan profesi yang lain, bertani juga memerlukan ketekunan,
kecerdasan, dan intuisi yang tepat. Setiap hari ia juga bekerja seperti orang
kantor pada umumnya, berangkat pagi pulang sore, bahkan kadang sampai menjelang
maghrib. Di lahan seluas hampir 3 hektar miliknya, Pak Niman menanam kurang
lebih 20 ribu tanaman salak organik miliknya. Menurut Niman, pengembangan salak
organik di Desa Leksana, Kecamatan Karangkobar tempat tinggalnya sangat tepat,
mengingat jenis tanah di sana tergolong tanah lincet semping (lumpur semping).
“Baik
tidaknya pertanian salak organik ini ditentukan oleh empat hal, kondisi tanah
yang mendukung, bibit yang bagus, pemupukan, dan perawatan. Sangat beruntung
tanah di sini tergolong lincet semping, seperti lempung (baca: tanah liat) yang
lengket, sangat pas untuk pengembangan salak organik,” jelasnya.
Lebih
lanjut, Niman menuturkan bahwa sebenarnya tidak banyak perbedaan signifikan
dalam cara tanam maupun pengolahan salak organik dan non organik. Pada dasarnya
salak pondoh organik hanya tidak menggunakan zat kimia dalam pemupukannya, tanaman
salak tersebut menggunakan pupuk organik (hasil kotoran hewan). Ia juga sengaja
memilih bibit salak pondoh organik yang berbeda dari yang biasanya ditanam.
“Kalau
biasanya petani menggunakan bibit salak nglumut, saya memilih bibit salak
manggala yang lebih bagus dengan konsekunsi harga lebih mahal. Enam tahun lalu
(tahun 2006) saat saya baru mulai mengembangkan salak organik, harga bibit salak
manggala Rp. 6.500,- disaat itu harga bibit salak nglumut sebesar Rp.2.000,-,”
ujarnya.
Konsekuensi harga ini tentunya berpengaruh
pula pada hasil yang dipetik. Salak manggala dengan pemupukan organik, menurut
Niman memiliki ukuran yang jauh lebih besar dan bulat, bisa mencapai 2 sampai 3
kali besarnya dari salak nglumut. Selain ukuran, hasil lain yang membedakan
dari salak manggala organik dan salak nglumut dengan pertanian non organik
adalah dari segi rasa yang jauh lebih manis dan daging buah yang lebih tebal.
Daya tahan buahnya juga jauh lebih lama.
“Salak
organik yang masih dalam tangkainya bisa bertahan 2 minggu lebih dengan rasa
yang makin manis, berbeda dengan salak non organik yang mulai busuk dan
berkurang kualitas rasanya dalam hitungan 2 hari. Daya tahan merupakan unsur
penting dalam perdagangan produk pertanian, selain rasa dan ukuran, karena ketiganya
menentukan nilai produk,” kata Niman.
Dalam
hal perawatan khususnya pemupukan, salak organik hanya dipupuk dua kali setahun
dengan pupuk alami dari kotoran hewan. Sedangkan salak non organik hampir tiap bulan.
“Dalam
sekali pemupukan, tiap dapur (biasanya terdiri dari tiga pohon) membutuhkan
biaya Rp.25.000,-. Harga pupuk organik super dari kotoran kambing peranakan
etawa sebesar Rp.2.000,-/kg, sedangkan untuk satu rit pupuk (1 truk) dihargai
Rp.3.000.000,-. Biasanya untuk 1000 pohon salak saya menghabiskan
Rp.7.500.000,- untuk sekali pemupukan,” jelasnya.
Dari
segi pola tanam, kebun salak pondoh organik tampak jauh lebih rapi dan bersih
dibanding kebun salak biasa. Barisan pohon sejajar teratur dipisahkan dari
barisan berikutnya dengan jarak 3 meter dari satu pohon ke pohon lain, membuat
kebun salak enak dinikmati baik untuk memeriksa kondisi tanaman maupun memetik
hasilnya.
“Pola
pengaturan ini berpengaruh juga pada jenjang (tangkai) yang dihasilkan tiap
pohon. Salak organik menghasilkan 3 sampai 4 jenjang tiap pohon dengan berat
tiap pohon mencapai 5 kg. Sementara salak non organik hanya menghasilkan 2
sampai 3 jenang tiap pohon, dengan berat 2 sampai 3 kg saja,” ujarnya.
Terkait penjualan,
salak pondoh non organik biasa dihargai sekitar Rp 3.000 per kilogram,
sedangkan harga salak organik bisa dua atau bahkan tiga kali lipat, tergantung
harga pasar. Bahkan umumnya salak ini dijual dengan harga Rp.21.000/kg di
supermarket. Dengan harga sebesar itu, menurut Niman, petani tidak mengalami
kesulitan untuk menjualnya, karena peminatnya cukup banyak.
“Selama
ini saya bisa menjual 3 ton per bulan, dan bisa memanen 3 hektar kebun sawah
ini dua bulan sekali. Sementara saya baru memasarkan ke Pekalongan dan Pemalang.
Sebenarnya ada yang sudah ingin mengontrak saya dari Jogjakarta untuk keperluan
di supermarket-supermarket. Tapi karena target panen yang belum bisa merata
tiap bulannya, saya belum sanggupi,” tegasnya.
Mahalnya
harga salak organik ini, menurutnya, disebabkan tata cara penanganan salak
organik yang berbeda dengan salak pondoh biasa. "Ini diperoleh dengan kerja
keras," kata Niman. "Bagi petani pengaturan ini berat sekali, karena
kita dituntut membuat administrasi. Tiap langkah yang dilakukan petani dalam
merawat kebun dari pengolahan tanah, pemupukan, pemangkasan, pola panen, dan
seterusnya," tambah Niman.
Langkah Pak
Niman ini mendapatkan dukungan dari Dinas Pertanian, Perikanan, dan Peternakan (Dintankannak) Kabupaten
Banjarnegara. Diharapkan salak manggala akan menjadi salak pertama di
Banjarnegara yang bebas residu kimia sehingga bisa menembus pasar buah luar
negeri (ekspor).
Menurut Kepala Dintankannak Kabupaten
Banjarnegara, Ir. Dwi Atmaji, meski peluang ekspor salak nglumut selama
ini cukup terbuka lebar, namun ada ketentuan yang selama ini sebenarnya belum
bisa dipenuhi, yaitu proses lolos uji sertifikasi, dimana pemupukannya harus
menggunakan pupuk organik, bebas residu
kimia
"Para
petani di Banjarnegara tengah bekerja keras bagaimana caranya menghasilkan
salak yang berkualitas, meski tanpa menggunakan pupuk kimia. Hal ini karena
mulai tahun 2010 pemerintah Banjarnegara menginstruksikan agar penggunaan pupuk
kimia harus dikurangi. Jadi langkah yang ditempuh Pak Niman ini patut untuk
diapresiasi,” jelasnya.
Terkait
proses sertifikasi untuk mencapai kualitas ekspor, Niman berjanji sebagai
bentuk komitmennya untuk mencapai impiannya tersebut, tahun 2013 nanti lahannya
siap untuk melewati proses itu.
“Pencapaian
kondisi yang ideal dari penanaman salak organik sampai pada kondisi panen yang
merata tiap bulannya adalah ketika lahan dan tanaman sudah dikembangbiakkan
selama 7 sampai delapan tahun. Untuk itu saya butuh waktu setahun lagi agar
lahan dan hasil produksi salaknya siap
untuk disertifikasi,” tegasnya.
Kondisi
ini tentunya menurut Niman akan tercapai jika ada dukungan dari Dinas terkait
untuk melancarkan proses ini agar bisa terwujud.
“Tumpukan
buku administrasi tentang pertanian organik yang saya tekuni ini rencanaya akan
diperiksa dinas pertanian sebagai bahan penilaian apakah selanjutnya layak untuk
mendapat sertifikat tanam organik,” tambahnya.
Ia juga
berharap agar langkah yang ditempuh olehnya bisa segera diduplikasi oleh petani
salak yang lain. Dengan demikian ke depan Banjarnegara tidak hanya dikenal dari
segi kuantitas (banyaknya) salak yang dihasilkan, namun juga dari segi
kualitas. Selain itu ia juga ingin mengumpulkan para petani yang satu visi dan
misi dengannya, yaitu mengembangkan pertanian organik dengan membuat forum
bersama.
“Forum
ini selanjutnya ingin saya ajak untuk memperjuangkan hak-hak petani. Pemerintah
harus memberikan akses pada hak-hak mendasar kaum tani. Kita memang tengah
membutuhkan komitmen nasional untuk mencegah laju konversi lahan pertanian,
menciptakan kedaulatan pangan, sekaligus melindungi hak-hak asasi petani. Penetatapan
harga pasar bagi produk pertanian organik juga menjadi salah satu agenda yang
patut diperjuangkan,” pungkasnya.
Karenanya,
sejalan dengan pemikiran Pak Niman, jika masyarakat Indonesia ingin makmur,
maka petani harus berdaulat. Petani harus berdaulat atas sumber produksi
pertanian seperti tanah, benih, dan air. Jika petani berdaulat maka petani akan
sejahtera. Dan jika petani sejahtera maka 80% masyarakat Indonesia akan
sejahtera. Apalagi 53,65%
penduduk Banjarnegara juga menggantungkan hidup pada sektor ini. Jadi, bukankah
penting bagi kita untuk turut andil memperjuangkan hak-hak dasar petani dan
menghargai profesi mulia sebagai petani. (yovi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar